Menyambut ‘Tamu Bulanan’ dengan Bijak


By : Sevina Rahmi (Biologi 2015)

Assalamu'alaikum Warahmatullah Wabarakaltuh,

Wanita tercipta dengan fitrahnya yang salah satunya akrab disapa dengan "tamu bulanan" atau dalam bahasa fiqhnya yaitu haidh. Fitrah ini dimiliki setiap wanita yang sudah mencapai masa baligh dan merupakan masa dimana setiap wanita mulai memiliki dan bertanggung jawab akan buku amalannya masing-masing. Fitrah wanita ini merupakan hal yang lumrah terjadi setiap bulannya dan tak jarang pula menimbulkan pertanyaan-pertanyaan yang berkaitan dengan fiqh wanita dalam Islam, terutama jika fitrah ini datang pada Bulan Ramadhan. 

Pada Bulan Ramadhan ada keistimewaan tersendiri bagi para muslimah yang mengalami haidh, sebab jika pada bulan-bulan lainnya wanita haidh dibebaskan sejenak dari kewajibannya melakukan ibadah wajib yaitu salat, namun pada Bulan Ramadhan,wanita haidh pun dibebaskaskan juga dari kewajibannya berpuasa hingga kembali dalam keadaan suci.

Kenapa gerangan wanita yang haid mengqadha’ puasa dan tidak mengqadha’ shalat?” Maka Aisyah menjawab, “Apakah kamu dari golongan Haruriyah? “ Aku menjawab, “Aku bukan Haruriyah, akan tetapi aku hanya bertanya.” Dia menjawab, “Kami dahulu juga mengalami haid, maka kami diperintahkan untuk mengqadha’ puasa dan tidak diperintahkan untuk mengqadha’ shalat”HR. Muslim no. 335

Dari hadits diatas juga dijelaskan apa yang selanjutnya harus dilakukan oleh para muslimah selepas Ramadhan yaitu mengqadha puasa yang sempat ditinggalkan pada Bulan Ramadhan dan tidak perlu untuk mengqadha salatnya.

"Bagaimana jika qadha puasa tahun ini adalah gabungan dari hutang puasa tahun lalu dan dua tahun lalu? Boleh kah?"

Dalam hal ini, terdapat tiga kemungkinan, yaitu:
Pertama: Keadaan wanita tersebut tidak memungkinkan untuk segera mengqadha puasanya pada Ramadhan yang lalu hingga datang Ramadhan berikutnya, misal: karena alasan sakit.
Dalam masalah ini, terdapat dua kondisi, yaitu:
Kondisi 1: Apabila wanita tersebut meninggalkan kewajiban puasa dan menunda qadha puasanya karena ketidak mampuannya, maka wajib baginya untuk mengqadha hari-hari yang ditinggalkannya itu saat dia telah memiliki kemampuan untuk mengqadhanya. Hal ini berdasarkan firman Allah ta’ala yang artinya,
“Dan barang siapa yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkannya itu pada hari-hari yang lain.” (Qs. Al-Baqarah: 185)
Kondisi 2: Apabila ketidak mampuan wanita tersebut untuk melaksanakan puasa bersifat permanen, yakni tidak bisa hilang (sembuh) menurut keterangan ahli medis dan dikhawatirkan bahwa puasanya itu akan membahayakan dirinya, maka wanita tersebut harus memberi makan orang miskin sebanyak hari yang ditinggalkannya itu sebanyak setengah sha’ (sekitar 1,5 kg) makanan pokok di daerahnya. Hal ini berdasarkan firman Allah ta’ala yang artinya,
“Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu) memberi makan seorang miskin.” (Qs. Al-Baqarah: 184)
Ketentuan ini juga berlaku bagi wanita yang meninggal karena sakit, sementara dirinya masih memiliki tanggungan puasa Ramadhan. Maka keluarganya hanya diwajibkan untuk mengeluarkan fidyah sebanyak hari yang ditinggalkan oleh wanita tersebut. [Lihat penjelasan Ibnu Qayyim dalam kitab I’laamul Muwaqqi’iin (III/554) dan tambahan keterangannya diTahdziibus Sunnan Abi Dawud (III/279-282)]
Kedua: Wanita tersebut dengan sengaja mengulur-ulur waktu untuk mengqadha utang puasanya hingga datang Ramadhan berikutnya.
Dalam masalah kedua ini, wanita tersebut harus bertaubat kepada Allah ta’ala dikarenakan kelalaiannya atas suatu ketetapan Allah. Selain itu, dia juga harus bertekad untuk tidak mengulangi perbuatan tersebut. Karena menunda-nunda pelaksanaan qadha tanpa ada udzur syar’i adalah suatu maksiat, maka bertaubat kepada Allah merupakan suatu kewajiban. Kemudian, wanita tersebut harus segera mengqadha puasanya setelah bulan Ramadhan berikutnya. Allah ta’ala berfirman yang artinya,
“Bersegeralah kamu kepada ampunan dari Rabbmu…” (Qs. Ali ‘Imran: 133)
Ketiga: Wanita tersebut tidak mengetahui kewajiban melaksanakan puasa pada bulan Ramadhan, karena minimnya ilmu agama, dan atau tidak mengetahui secara pasti jumlah hari yang ditinggalkannya selama bulan Ramadhan yang lalu.
Dalam masalah ketiga, seorang wanita dinyatakan mukallaf (terkena beban ketentuan syari’at) dengan beberapa syarat, yaitu: (1) beragama Islam, (2) berakal, (3) telah baligh. Dan balighnya seorang wanita ditandai dengan datangnya haidh, tumbuhnya bulu di daerah sekitar kemaluan, keluarnya mani, atau telah memasuki usia 15 tahun. Apabila syarat-syarat tersebut telah terpenuhi, maka kewajiban untuk melaksanakan puasa pada bulan Ramadhan telah jatuh kepadanya, dan dia juga berkewajiban untuk melaksanakan qadha puasa sejumlah hari yang ditinggalkannya.
Namun, apabila wanita tersebut tidak mengetahui hukum-hukum yang ditetapkan oleh syari’at –bukan karena dia tidak ingin atau malas mencari tahu, akan tetapi karena sebab lain yang sifatnya alami, misal karena dia tinggal di daerah pedalaman yang jauh dari para ahli ilmu– maka tidak ada dosa baginya meninggalkan puasa pada tahun-tahun dimana dia masih dalam keadaan jahil (tidak tahu) terhadap ketentuan syari’at. Kemudian, apabila dia telah mengetahuinya, maka wajib baginya untuk melaksanakan puasa pada bulan Ramadhan, dan hendaknya dia mengqadha puasa yang ditinggalkannya sewaktu dia masih dalam keadaan tidak tahu, agar dapat terlepas dari dosanya. [Lihat Fataawa Nur ‘ala ad-Darb, Syaikh Utsaimin, hal. 65-66 dan Fatwa-Fatwa Tentang Wanita (I/227-228)]
Adapun apabila wanita tersebut ragu akan jumlah hari yang ditinggalkannya, maka dia dapat memperkirakannya, karena Allah ta’ala tidak membebani seseorang diluar kesanggupannya. Allah berfirman yang artinya,
“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.” (Qs. Al-Baqarah: 286)
Dan firman Allah yang artinya,
“Maka bertakwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu,” (Qs. At-Taghaabun: 16)
Catatan:
Mengqadha puasa tidak wajib dilakukan secara berturut-turut dan tidak mengapa apabila seorang wanita tidak langsung mengqadha puasanya setelah bulan Ramadhan berakhir. Namun, hendaklah dia melakukannya apabila tidak ada udzur yang menghalanginya. 
Wallahu a’lam.

Referensi :
Sa'id Ummu,2011,"Belum Mengqadha Hutang Puasa Hingga Datang Ramadhan Berikutnya", https://muslimah.or.id/2138-belum-mengqadha-hutang-puasa-hingga-datang-ramadhan-berikutnya.html,diakses pada 5 Maret 2016.

Anonim,2012, Larangan bagi wanita haid dalam hukum Islam , http://ridwanaz.com/islami/fiqih/larangan-bagi-wanita-haid/ , diakses pada 5 Maret 2016.

(Rn/BiMO'37)

1 komentar:

  1. Casino - Dr. MGM National Harbor - DRMCD
    Find the perfect place to 강릉 출장샵 stay for your events, 전라남도 출장샵 entertainment, dining, gaming, shopping, spa, 천안 출장마사지 entertainment and 춘천 출장샵 more 양주 출장샵 at the Jan 10, 2022Theresa Caputo

    BalasHapus