Ibuku Sayang… (Ibuku Malang?)

“…Seperti udara kasih yang engkau berikan.
Tak mampu ku membalas… Ibu…”
Ibu (Iwan Fals)
Sebait lagu yang dinyanyikan Bang Iwan yang berjudul Ibu sungguh benar isinya, seperti udara kasih yang diberikan oleh seorang ibu, udara yang senantiasa tersedia di setiap waktunya untuk kebutuhan mahluk hidup. Selalu ada, dan tidak mengharap balas jasa. Kalaupun kita mampu untuk memberikan yang terbaik untuk membalas budinya, sebesar gunung kebaikkan kita pun belum cukup untuk membalas kasih sayangnya.
Bahkan ketika rosulullah pernah ditanya, siapa orang yang harus paling kita hormati? Rosulullah menjawab ibu sebanyak tiga kali, baru kemudian ayah. Sungguh hal itu menunjukkan betapa harusnya kita menghormati seorang ibu. Bahkan surga pun berada di bawah telapak kaki ibu.
Pernahkah anda melihat tayangan acara televisi, baik itu reality show, sinetron maupun acara lainnya? Banyak sekali kisah yang menceritakan teganya seorang ibu untuk menjual anaknya hanya karena himpitan ekonomi, atau ada juga kisah yang menayangkan banyak sekali diantara para remaja yang menyangsikan status orangtua, terutama ibunya, apakah benar dia ibu kandungnya atau justru dia adalah anak tiri atau anak yang ditukar oleh ibunya di masa kecilnya. Kalaupun sebagian besar apa yang ditayangkan televisi itu fiktif, namun dengan banyakna cerita – cerita tidak mendidik seperti itu dapat menjadikan perkembangan psikologis yang buruk bagi anak – anak terutama bagi para mereka yang menjadikan kegiatan menonton televisi suatu rutinitas dalam kesehariannya.
Ternyata keseluruhan cerita – cerita tersebut tidak hanya fiktif belaka, pada pemberitaan – pemberitaan di berita pun banyak kasus demikian terjadi. Banyak daintara orang – orang yang dengan tindakannya agak kurang menghormati ibunya sendiri. Bahkan penulis pun dalam bergaul bersama teman terkadang merasa sangat tidak adil, antara perlakuan terhadap teman – temannya dengan perlakuan terhadap ibunya, seperti catatan yang tertuliskan di bawah ini:
Entah mengapa, bila diperhatikan secara seksama, begitu tidak adilnya saya. Suatu ketika, demi mendapatkan maaf dari seorang kerabat, saya pun harus berpusing – pusing ria. Padahal, akhirnya si kerabat tadi tak memaafkanku. Naif, karena saya pun belum mengetahui apa salah saya kepada sang kerabat. Namun, saat ku memikirkan masalah tersebut, terlintas bayangan seorang Ibu. Ya,, ibuku. Sosok yang paling sayang terhadap diriku. Lalu terpikir olehku, Bagaimana masalah yang ku hadapi belakangan terjadi lagi, Dengan keadaan ibuku yang tersakiti oleh perbuatanku. Tersakiti jelas karena ulahku. Dan jelas kutahu salahku. Tapi apa yang terjadi?? Walaupun kesalahanku –kesalahanku terulang. Lagi dan lagi. Beliau bahkan tak hanya memaafkanku, Beliau justru semakin perhatian terhadapku. Dengan doa teriring, Agar kelak aku bisa belajar dari kesalahan yang ku perbuat sekarang. Secara jelas kutahu, dengan gamblang aku pun sadar. Kemana saja aku? Kenapa aku lebih sibuk ke orang lain yang blum tentu sesayang, sesabar dan sebaik ibuku? Kenapa aku tidak berbuat lebih untuk membuat ibuku sebahagia mungkin? Karena satu contoh tadi pun menurutku sudah cukup untuk saya jadikan renungkan…
Lalu harus sperti apakita sebagai anaknya? Berbirrul walidayn. Birrul walidayn yang arrtinya berbakti kepada orangtua. Berbakti disini bukan hanya sebatas kita membahagiakan mereka dengan memberi harta yang melimpah, atau jika tidak punya apa – apa, birrul walidayn tidak sebatas membantu sekuat tenaga orangtua kita. Namun birrul walidayn disini artinya Kebaikan yang bisa mengantarkan ke Surga. Jika benar – benar ingin berbirrul walidayn, kita harus dapat Menjadi jalan Surga bagi Ayah Ibu kita.
(di dalam "gedung oranye", 17 Jumadil Akhir 1432H, M3r)

0 komentar: